Beranda | Artikel
Istri Juga Ingin Mendapat Kenikmatan Jima
Sabtu, 8 Desember 2012

Beberapa survey menyebutkan bahwa para istri tidak merasakan kenikmatan ini dan sebagian mereka menyembunyikan bahkan berbohong dari suami mereka, entah karena untuk menghibur suami atau alasan yang lain. Agama Islam yang lengkap dan sempurna telah mengatur hal ini.

Ada tiga faktor utama penyebabnya:

Pertama: suami cuek dan mau menang sendiri

Mungkin hal ini dilalaikan oleh sebagian suami, para suami ini hanya berpikir bagaimana mereka menunaikan hajat dan merasakan kepuasan kemudian selsai dan habis, titik. Memulai dengan kaku dan dingin tanpa pemanasan kemudian ditutup dengan Istri ditinggal tidur atau langsung pergi tanpa ada kata-kata penutup romantis yang sangat dinanti oleh istri.

Kedua: istri malu mengungkapkan dan berkomunikasi

Kemudian faktor lainnya, sebagian istri juga berbalut rasa malu dan segan ingin mengungkapkan keinginannya. Memang sifat dasar wanita yang berbalut malu. Padahal tidak sedikit wanita yang sangat berharap dan mereka juga sama dengan lelaki, jika tidak disentuh maka akan berpengaruh dengan emosi dan psikologis mereka.

Ketiga: wanita lebih butuh terhadap perhatian, kasih sayang dan belaian

Selain itu beberapa wanita tidak seperti laki-laki dimana jima’ adalah kebutuhan primer, karena kebutuhan primer wanita berupa perhatian, kasih sayang dan belaian terkadang melebihi kebutuhan jima’. Sehingga ada beberapa wanita yang sudah merasa cukup dengan perhatian, kata-kata lembut nan romantis serta belaian meskipun tidak mendapatkan kenikmatan dalam berjima’. Akan tetapi tetap saja yang satu ini diharapkan juga oleh wanita sebagaimana agama Islam memperhatikan hal ini.

Patutlah para suami memperhatikan perkataan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, beliau berkata,

لا تواقعها إلا وقد أتاها من الشهوة مثل ما أتاك لكيلا تسبقها بالفراغ

”Janganlah kamu menjima’ istrimu, kecuali dia (istrimu) telah mendapatkan syahwat seperti yang engkau dapatkan, supaya engkau tidak mendahului dia menyelesaikan jima’nya (maksudnya engkau mendapatkan kenikmatan sedangkan istrimu tidak).”[1]

 

Wanita juga punya nafsu syahwat seperti laki-laki

Ini perlu diketahui oleh para suami karena hakikatnya laki-laki dan wanita sama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنما النساء شقائق الرجال

“Sesungguhnya wanita itu saudara kandung laki-laki.” [2]

 

Syaikh Muhammad bin shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,

:أنه إذا أتى أهله فقد أحسن إلى أهله، لأن المرأة عندها من الشهوة ما عند الرجل، فهي تشتهي الرجل كما يشتهيها، فإذا أتاها صار محسناً إليها وصار ذلك صدقة.

“jika seorang laki-laki “mendatangi” istrinya hendaklah “berbuat baik” kepadanya. Karena wanita memiliki syahwat sebagaimana laki-laki. Wanita juga mempunyai “keinginan” sebagaimana laki-laki mempunyai “keinginan”. Jika ia mendatangi istri dengan “berbuat baik” padanya maka ini termasuk sedekah.”[3]

Tidak sedikit juga wanita yang memiliki “keinginan” yang lebih besar bahkan tidak disangka-sangka oleh suami mereka.

 

Wanita mempunyai beberapa hak atas suami dan sebaliknya

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالمَعْرُوفِ

“…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…” (Al-Baqarah : 228)

 

Suami juga diperintahkan agar memperhatikan dan bermuamalah dengan baik kepada istrinya, termasuk nafkah batin

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالمَعْرُوفِ

“…Dan bergaullah dengan mereka (istri) dengan cara yang ma’ruf/ baik.” (Qs. An-Nisa’ : 19)

 

Bisa juga kita lihat kisah sahabat Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu yang sudah merasakan nikmatnya beribadah sampai lupa terhadap istrinya. Maka ia ditegur oleh sahabatnya Salman, agar ia juga memberikan nafkah batin kepada istrinya.

 

عن عون بن أبي جحيفة، عن أبيه، قال: آخى النبي صلى الله عليه وسلم بين سلمان، وأبي الدرداء، فزار سلمان أبا الدرداء، فرأى أم الدرداء متبذلة، فقال لها: ما شأنك؟ قالت: أخوك أبو الدرداء ليس له حاجة في الدنيا،

“Diriwayatkan dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya, ia mengkisahkan: Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan tali persaudaraan antara sahabat Salman (Al Farisi) dengan sahabat Abu Darda’, maka pada suatu hari sahabat Salman mengunjungi sahabat Abu Darda’, kemudian ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’ dalam keadaan tidak rapi,maka ia (sahabat Salman) bertanya kepadanya,

Apa yang terjadi pada dirimu?

 Ummu Darda’-pun menjawab,

Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak butuh lagi kepada (wanita yang ada di) dunia.”

 فجاء أبو الدرداء فصنع له طعاما، فقال: كل؟ قال: فإني صائم، قال: ما أنا بآكل حتى تأكل، قال: فأكل، فلما كان الليل ذهب أبو الدرداء يقوم، قال: نم، فنام، ثم ذهب يقوم فقال: نم، فلما كان من آخر الليل قال: سلمان قم الآن، فصليا

Maka tatkala Abu Darda’ datang, iapun langsung membuatkan untuknya (sahabat Salman) makanan, kemudian sahabat Salmanpun berkata,

“Makanlah (wahai Abu Darda)”

Maka Abud Darda’ pun menjawab,

“Sesungguhnya aku sedang berpuasa.”

Mendengar jawabannya sahabat Salman berkata,

“Aku tidak akan makan, hingga engkau makan”

maka Abu Darda’pun akhirnya makan. Dan tatkala malam telah tiba, Abud Darda’ bangun (hendak shalat malam, melihat yang demikian, sahabat Salman) berkata kepadanya,“Tidurlah, maka iapun tidur kembali, kemudian ia kembali bangun, dan sahabat Salmanpun kembali berkata kepadanya: tidurlah. Dan ketika malam telah hampir berakhir, sahabat Salman berkata: bangunlah sekarang, dan shalat (tahajjud).

فقال له سلمان: إن لربك عليك حقا، ولنفسك عليك حقا، ولأهلك عليك حقا، فأعط كل ذي حق حقه، فأتى النبي صلى الله عليه وسلم، فذكر ذلك له، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: «صدق سلمان»

 

Kemudian Salman menyampaikan alasannya dengan berkata,

“Sesungguhnya Rabb-mu memiliki hak atasmu, dan dirimu memiliki hak atasmu, dan istri/keluargamu juga memiliki hak atasmu, maka hendaknya engkau tunaikan setiap hak kepada pemiliknya.”

Kemudian sahabat Abud Darda’ datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan ia menyampaikan kejadian tersebut kepadanya, dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan bersabda: Salman telah benar.”[4]

 

Anjuran Islam agar memperhatikan nafkah batin istri

“Mendatangi istri” adalah termasuk sedekah dan ibadah, tentu dalam ibadah kita harus melakukan dengan  “cara yang baik”.

Dari Abi Dzar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

( وفي بُضع أحدكم صدقة ) – أي في جماعه لأهله – فقالوا : يا رسول الله أيأتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر ؟ قال عليه الصلاة والسلام : ( أرأيتم لو وضعها في الحرام ، أكان عليه وزر ؟ فكذلك إذا وضعها في الحلال كان له أجر ) رواه مسلم

”Dan di dalam kemaluan salah seorang di antara kalian adalah sedekah.” -Maksudnya dalam jima’nya (hubungan intim) terhadap istrinya– Maka mereka (Sahabat) berkata:”Wahai Rasulullah! Apakah salah seorang di antara kami mendatangi keluarganya (menunaikan syahwatnya/jima’) dan dia mendapatkan pahala?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berabda:”Bukankah apabila dia menunaikannya (jima’) di tempat yang haram dia akan mendapatkan dosa?” Maka demikian juga seandainya dia menunaikannya di tempat yang halal (istrinya) maka dia akan mendapatkan pahala.”[5]

 

Begitu juga dengan kisah seorang wanita yang mengadu kepada Amirul mukminin Umar bin Khattab bahwa suaminya malam harinya shalat malam terus dan siangnya puasa terus. Artinya ia tidak mendapat nafkah batin. maka Islam memerintahkan agar memperhatikan hal ini.

عن محمد بن معن الغفاري قال: أتت امرأة عمر بن الخطاب رحمه الله، فقالت: يا أمير المؤمنين إن زوجي يصوم النهار، ويقوم الليل وإني أكره أن أشكوه، وهو يعمل بطاعة الله فقال: نعم الزوج زوجك، فجعلت تكرر عليه القول، وهو يكرر عليها الجواب، فقال له كعب الأسدي: يا أمير المؤمنين هذه المرأة تشكو زوجها في مباعدته إياها عن فراشه، فقال له عمر: كما فهمت كلامها فاقض بينهما

Muhammad bin Ma’an al-Ghifari berkata,

“Seorang perempuan datang kepada ‘Umar lalu berkata, ‘Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya suamiku siang hari puasa dan malam hari shalat. Aku tidak senang mengadu kepadanya karena ia menjalankan ketaatannya kepada Allah.’

Lalu ‘Umar berkata kepadanya, ‘Memang laki-laki itu adalah suamimu (suami yang shalih).”

Lalu berkali-kali perempuan tadi mengulangi perkataannya dan ‘Umar pun berkali-kali pula mengulang jawabannya.

Lalu Ka’ab al-Asadi berkata kepada ‘Umar, “Wahai Amirul Mu’minin, perempuan ini mengadukan keadaan suaminya karena ia membiarkan tidur sendirian.’

Lalu ‘Umar menjawab, ‘Kalau seperti itu yang kau fahami dari ucapannya, maka putuskanlah perkara antara keduanya.”

 

Akhirnya Ka’ab sebagai hakim setelah mendengar peryataan dari suami-istri tersebut, memutuskan perkara dan berkata,

إن لها حقاً عليك يا رجل … نصيبها في أربع لمن عقل

فاعطها ذاك ودع عنك العلل

ثم قال: إن الله عز وجل قد أحل لك من النساء مثنى وثلاث ورباع، فلك ثلاثة أيام ولياليهن تعبد فيهن ربك ولها يوم وليلة

‘Sesungguhnya istrimu mempunyai hak atas dirimu, wahai kawan. Bagian dia ada pada yang empat (dua paha laki-laki dan dua paha perempuan), bagi orang yang berakal. Berikanlah itu kepadanya, Dan janganlah anda perpanjang alasan.’

Kemudian Ka’ab berkata, ‘Allah menghalalkan kamu menikahi empat perempuan. Tiga malamnya menjadi hakmu untuk menyembah Tuhanmu. Dan satu malam menjadi hak istrimu[6]

 

Beberapa cara yang diajarkan Islam

Perlu diketahui bahwa Islam tidak secara vulgar dan rinci menjelaskan bagaimana “berhubungan”  yang baik dan berkualitas. Dan termasuk kesalahan adalah menyebarluaskan dan merinci dengan serincin-rincinya. Memberitahu posisi A, posisi B, tehnik A, tehnik B, bahkan dengan gambar-gambar yang sangat berbahaya jika dilihat oleh pemuda dan anak-anak. Karena masalah ini adalah fitrah manusia dan insting manusia akan tahu sendiri. Dengan keterbukaan dan komunikasi yang jelas antar suami-istri dan gambaran dasar, maka sudah cukup. Selebihnya fitrah dan insting mereka yang jalan.

Walaupun beberapa buku petunjuk ataupun buku berlabel islami ditulis “buku ini bagi yang sudah atau akan menikah” maka tidak menjamin akan aman. Bahkan semakin dilarang, orang semakin mencari sebagaimana pepatah arab,

كل ممنوع مرغوب

“Setiap yang dilarang umumnya diinginkan/dicari”

 

Beberapa cara tersebut secara umum:

-melakukan pemanasan (foreplay)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Jabir radhiallahu ‘anhu ketika dia menikah dengan janda,

“فهلا بكراً تلاعبها وتلاعبك” (رواه الشيخان)، ولمسلم “تضاحكها وتضاحكك”


”Kenapa tidak gadis (yang engkau nikahi) sehingga engkau bisa mencumbunya dan dia mencumbumu?”
 [HR. Bukhari dan Muslim] dan dalam riwayat Muslim:”Engkau bisa mencandainya dan dia mencandaimu?”

 

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

قال ابن قادمة رحمه الله: ويستحب أن يلاعب امرأته قبل الجماع لتنهض شهوتها، فتنال من لذة الجماع مثل ما ناله

”Dianjurkan (disunahkan) agar seorang suami mencumbu istrinya sebelum melakukan jima’ supaya bangkit syahwat istrinya, dan dia mendapatkan kenikmatan seperti yang dirasakan suaminya.”[7]

 

Boleh dengan gaya apa saja selama masih di farji istri

 Allah Ta’ala berfirman,

نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم

Para istri kalian adalah ladang bagi kalian. Karena itu, datangilah ladang kalian, dengan cara yang kalian sukai.” [Al-Baqarah:223]

 

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مقبلة ومدبرة إذا كان ذلك في الفرج

“Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya”[8]

 

-jika ingin ‘Azl (coitus interuptus) hendaknya minta izin ke istri

Karena memutus tiba-tiba bisa mengurangi kenikmatan istri. Syaikh Muhammad Mukhtar As-Syingkiti rahimahullah berkata,

أي: يكره النزع قبل فراغ المرأة؛ لأن الرجل ربما أنزل قبل أن تنزل المرأة، فيكون قد أصاب شهوته ولم تصب المرأة شهوتها

 

“Dibenci mencabut (‘azl) sebelum wanita menyelesaikan “hajatnya”. Karena terkadang laki-laki mencapai kepuasan sebelum istri mencapai kepuasan. Terkadang ia sudah mendapati kenikmatan sedangkan istri belum mendapatkan.”[9]

 

Inti dari permasalahan ini adalah adanya komunikasi yang terbuka dan jelas antar suami dan istri, apa saja yang membuat suami puas, apa saja yang membuat istri puas, baik dari tehnik, gaya, trik dan perbaikan stamina keduanya. Dan perlu diketahui tidak semua rumah tangga bahagia hanya dengan permasalahan ini saja. Tetapi hal ini juga tidak juga diremehkan dan tidak diperhatikan.

 

Jangan sampai istri kecewa dan tidak suka terhadap suaminya

Terdapat beberapa kasus bahwa rumah tangga harus berakhir hanya karena masalah ranjang. Begitu juga ada wanita di zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ingin cerai dari suaminya karena suaminya impoten. Hal ini perlu diperhatikan dan dimusyawarahkan dengan baik jika memang akan menjadi masalah.

Seorang suami harus memperhatikan hal ini. Syaikh Muhammad Mukhtar As-Syingkiti rahimahullah berkata,

ونبه العلماء على ذلك لما فيه من المفاسد، والعواقب الوخيمة، فإن المرأة تكره زوجها حينئذٍ، وتحس أنه يريد قضاء حاجته فقط، وأنه لا يلتفت إليها، ولا يريد أن يحسن إليها، ويكرمها في عشرته لها، فلربما حقدت عليه، ودخل الشيطان بينهما فأفسدها عليه، فيشرع بناءً على مقاصد الشرع العامة من حصول السكن والألفة، فعليه أن يعطي المرأة حقها

“Para ulama telah memperingatkan masalah ini karena ada mafsadah dan akibat yang buruk. Yaitu seorang istri membenci suaminya ketika itu. Istri merasa suaminya hanya sekedar ingin menunaikan syahwatnya saja, tidak perhatian dan tidak ingin berbuat baik kepadanya dan tidak menghormatinya dalam bermuamalah. Bisa jadi ia akan memusuhi suaminya. Dan setan masuk kemudian merusaknya. Maka syariat dibangun diatas tujuan umum untuk menciptakan kerukunan dan persatuan hati. Maka hendaklah ia memberikan hak kepada Istrinya.”[10]

 

Ada juga suami yang hanya berbuat baik kepada istirnya ketika ingin “meminta jatah” saja, kata-kata baik, ada rayuan dan belaian. Adapun jika selain itu, maka kata-katanya kasar, membentak dan anti belaian. Sehingga istri akan merasa benci terhadap suaminya.

Hal ini juga telah diingatkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لاَ يَجْلِدْ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ

“Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk (memukul)  istrinya sebagaimana mencambuk (memukul) seorang budak lantas ia menjimaknya di akhir (malam) hari[11]

Semoga kita para lelaki bisa menjadi  suami yang perhatian terhadap istri dan berbuat baik terhadap mereka karena “wanita ingin lebih dimengerti”.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap Istrinya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan istriku.”[12]

wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

 

Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid

23 Muharram 1434 H

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

silahkan like fanspage FB dan follow twitter

 


[1] Al-Mugni lbni Qudamah 8/136, Darul Fikr, Beirut, cet. I, 1405 H, syamilah

[2] HR. Ahmad no.26195, hasan lighairihi, tahqiq Syu’aib Al-Arna’uth

[3] Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah libni Utsaimin hadits ke-15

[4] HR. Bukhari no. 1968)

[5] HR. Muslim

[6] Baghiatut Thalab 2/454, Ibnul Adim, sumber: http://islamport.com/w/tkh/Web/363/954.htm

[7] Al-Mugni lbni Qudamah 8/136, Darul Fikr, Beirut, cet. I, 1405 H, syamilah

[8] HR. Bukhari (no. 4528) dan Muslim (no. 1435)

[9] Syarh Zadul Mustaqni’ bab ‘Usyratun Nisa’ sumber: http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=129334

[10] idem

[11]  HR Al-Bukhari V/1997 no 4908 dan Muslim IV/2191 no 2855

[12] H.R. Tirmidzi dan beliau mengomentari bahwa hadits ini hasan gharib sahih. Al-Albani menilai hadits tersebut sahih

 


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/istri-juga-ingin-mendapat-kenikmatan-jima.html